Aku masih ingat ketika pertanyaan itu diajukan padaku, "Kamu mau jadi dokter karena apa?" Dengan yakin, aku menjawab, "Saya mau jadi dokter karena saya mau membantu banyak orang," Ternyata, jawabanku seperti tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Jawaban itu memicu pertanyaan lagi, "Terus, apa lagi?"
Aku diam. Aku tidak punya jawaban. Aku berusaha mencari-cari jawaban yang sekiranya meyakinkan sampai kemudian beliau yang mengajukan pertanyaan mengatakan hal ini,
"Kamu mau jadi dokter cuma karena mau bantu banyak orang? Kalau cuma mau bantu banyak orang, ngga usah jadi dokter. Kamu ngga jadi dokter juga bisa bantu banyak orang. Sekarang kamu kasih makan gelandangan atau kamu sumbang uang kamu ke panti asuhan juga sudah bantu banyak orang. Kelamaan kalau nunggu jadi dokter dulu. Kuliah 4 tahun ditambah ko-asistensi 2 tahun. Total 6 tahun waktu yang harus kamu habiskan untuk jadi dokter. Iya kalau lancar, kalau ngga? Kamu menghabiskan banyak sekali waktu kalau alasan kamu mau jadi dokter cuma karena mau membantu banyak orang. Sebaiknya, kamu pikir-pikir lagi,"
Aku masih diam.
Beliau ini kenapa? Aku baru mulai bukannya disemangati malah semangatku dipatahkan sepatah-patahnya. Tapi, berhari-hari kemudian setelah aku menjadi mahasiswi kedokteran, aku sadar bahwa apa yang beliau katakan ada benarnya.
Beliau ini kenapa? Aku baru mulai bukannya disemangati malah semangatku dipatahkan sepatah-patahnya. Tapi, berhari-hari kemudian setelah aku menjadi mahasiswi kedokteran, aku sadar bahwa apa yang beliau katakan ada benarnya.
Berhari-hari kemudian setelah aku menjadi ko-asisten, aku sadar bahwa jawaban 'mau membantu banyak orang' itu ngga cukup.
Berhari-hari kemudian setelah aku menjadi dokter, aku sadar bahwa memang butuh alasan kuat untuk memilih jalan hidup menjadi seorang dokter.
* * *
Kalau kebanyakan orang tua berusaha keras supaya anaknya mau jadi dokter, berbeda dengan orang tuaku. Orang tuaku ngga pernah meminta, menyuruh, membujuk apalagi mendoktrin anaknya untuk jadi dokter karena, Alhamdulillah, orang tuaku bukan orang tua yang mengharuskan anaknya menekuni profesi tertentu. Buat mereka, yang penting anaknya sekolah. Sekolah setinggi-tingginya.
Ketika aku bilang aku mau kuliah di fakultas kedokteran karena aku mau jadi dokter - nah ini yang aku bilang orang tuaku berbeda - orang tuaku justru seperti menakut-nakuti aku. Kuliah kedokteran itu butuh waktu lama, bukunya tebal-tebal, bayar kuliahnya mahal, dan lain sebagainya. Orang tuaku begitu bukan tanpa alasan tapi justru karena mereka sangat paham konsekuensi kuliah di fakultas kedokteran. Lebih dari itu, orang tuaku sangat paham konsekuensi menjadi seorang dokter.
Untuk menjadi seorang dokter, niatnya harus benar-benar lurus dan mantap memang mau menjadi seorang dokter. Niat ini harus datang dari diri sendiri. Ini adalah modal utama sekaligus modal yang ngga bisa ditawar. Modal kuliah kedokteran itu bukannya uang yang banyak, Din? Kuliah kedokteran memang butuh biaya banyak tapi, kalau uangnya ada tapi niatnya ngga ada, nah, ini yang bisa jadi masalah. Sekali lagi aku bilang, niat adalah modal utama. Kalau niatnya sudah benar-benar lurus dan mantap, Tuhan pasti akan kasih jalan.
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena orang tuanya dokter. Kalau orang tuanya dokter, anaknya ngga harus jadi dokter kok. Orang tuaku bukan dokter. Banyak temanku sesama dokter yang orang tuanya juga bukan dokter. Begitu juga sebaliknya, banyak temanku yang bukan dokter tapi orang tuanya dokter. Kalau orang tuanya dokter, anaknya memang mau jadi dokter, Alhamdulillah. Kalau orang tuanya dokter, anaknya ngga mau jadi dokter tapi mau jadi yang lain, Alhamdulillah. Kalau orang tuanya bukan dokter, anaknya mau jadi dokter, Alhamdulillah. Kalau orang tuanya bukan dokter, anaknya ngga mau jadi dokter, Alhamdulillah. Semuanya Alhamdulillah 😉 Selama apa yang menjadi pilihan dan dilakukan anak adalah hal yang positif dan bisa bermanfaat untuk orang lain, dukung.
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena permintaan orang tua. Bahkan banyak yang beralasan, karena orang tuanya ngga kesampaian jadi dokter maka anaknya yang harus 'meneruskan'. Mungkin, hal ini patut menjadi perhatian para orang tua juga. Bukan orang tua loh yang akan menjalani kehidupan sebagai seorang dokter tapi anak yang akan menjalaninya. Bisa kebayang ngga kalau anak menjalani kehidupan yang ngga mau dia jalani? Hasilnya juga akan berbeda kalau orang menyenangi apa yang dikerjakannya dibanding dengan orang yang pura-pura senang atau malah terpaksa. Iya, menurutku, kita harus senang dengan apa yang kita kerjakan. Lagian, memangnya sudah siap menjadi orang tua dari seorang dokter? Ngga semudah itu juga punya anak seorang dokter. Tanya aja sama orang tuaku 😅
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena profesi ini dipandang sebagai profesi yang keren. Ngga harus jadi dokter kok untuk bisa dipandang keren. Joe Taslim bukan dokter tapi banyak orang menyebutnya keren karena bisa berakting di film Fast and Furious. Apapun profesinya, selama kita menyenangi, berdedikasi, dan selalu berusaha maksimal menjalaninya maka orang akan memandang itu sebagai sesuatu yang keren.
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena profesi ini dipandang bisa mendatangkan kekayaan. Kamu tahu siapa orang terkaya di dunia? Bill Gates. Beliau dinobatkan sebagai orang terkaya di planet ini. Aku ulangi ya, di PLANET ini. Terhitung total kekayaannya mencapai US$79,2 miliar! Apakah Bill Gates seorang dokter? Bukan. Tapi, jangan salah paham. Bukan aku mendiskreditkan profesi dokter ya. Maksudku, ngga harus berprofesi tertentu untuk menjadi kaya. Lagian, kaya itu relatif. Tiap orang punya definisi dan ukurannya masing-masing kan.
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena profesi ini dipandang bisa menjamin kehidupan. Menurutku, kepercayaan terhadap kebaikan Tuhan dan kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri yang bisa menjamin kehidupan.
Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi seorang dokter, itu sama saja dengan memutuskan untuk berkomitmen dengan profesinya seumur hidup. Iya, seumur hidup. Profesi dokter adalah profesi yang tidak mengenal pensiun. Profesi dokter adalah profesi yang tidak mengenal waktu dan tempat karena profesi ini berhubungan dengan nyawa manusia. Apalagi, sebelum menjalankan profesinya, seorang dokter disumpah atas nama Tuhannya. Kamu bisa search di mesin pencarian dengan keyword 'Sumpah Dokter Indonesia' untuk mengetahui isi sumpahnya.
Belum lagi kalau kita bicara soal dokter-dokter yang bekerja di unit gawat darurat atau dokter-dokter yang memilih spesialisasi yang ada nilai gawat daruratnya seperti dokter spesialis bedah, dokter spesialis anestesi, dokter spesialis obstetri dan ginekologi, atau dokter spesialis anak. Mau sedang santai di rumah, sedang liburan, sedang tidur, lapar, atau galau sekalipun, kalau sudah di-calling, ya, berangkat (atau minimal diinterupsi melalui telepon). Memangnya nyawa bisa menunggu?
Oleh karena itu, orang tuaku mau melihat seberapa mantap kemauanku untuk kuliah di fakultas kedokteran dan seberapa mantap kemauanku untuk menjadi seorang dokter dengan cara menakut-nakuti itu tadi. Ketika orang tuaku bisa melihat kemantapan itu di diriku, orang tuaku akhirnya menjadi mantap juga. Orang tuaku senangnya bukan main. Mereka bilang, "Alhamdulillah. Jadi, misalnya, nanti mama atau papa sakit, ada yang ngobatin ya."
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena permintaan orang tua. Bahkan banyak yang beralasan, karena orang tuanya ngga kesampaian jadi dokter maka anaknya yang harus 'meneruskan'. Mungkin, hal ini patut menjadi perhatian para orang tua juga. Bukan orang tua loh yang akan menjalani kehidupan sebagai seorang dokter tapi anak yang akan menjalaninya. Bisa kebayang ngga kalau anak menjalani kehidupan yang ngga mau dia jalani? Hasilnya juga akan berbeda kalau orang menyenangi apa yang dikerjakannya dibanding dengan orang yang pura-pura senang atau malah terpaksa. Iya, menurutku, kita harus senang dengan apa yang kita kerjakan. Lagian, memangnya sudah siap menjadi orang tua dari seorang dokter? Ngga semudah itu juga punya anak seorang dokter. Tanya aja sama orang tuaku 😅
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena profesi ini dipandang sebagai profesi yang keren. Ngga harus jadi dokter kok untuk bisa dipandang keren. Joe Taslim bukan dokter tapi banyak orang menyebutnya keren karena bisa berakting di film Fast and Furious. Apapun profesinya, selama kita menyenangi, berdedikasi, dan selalu berusaha maksimal menjalaninya maka orang akan memandang itu sebagai sesuatu yang keren.
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena profesi ini dipandang bisa mendatangkan kekayaan. Kamu tahu siapa orang terkaya di dunia? Bill Gates. Beliau dinobatkan sebagai orang terkaya di planet ini. Aku ulangi ya, di PLANET ini. Terhitung total kekayaannya mencapai US$79,2 miliar! Apakah Bill Gates seorang dokter? Bukan. Tapi, jangan salah paham. Bukan aku mendiskreditkan profesi dokter ya. Maksudku, ngga harus berprofesi tertentu untuk menjadi kaya. Lagian, kaya itu relatif. Tiap orang punya definisi dan ukurannya masing-masing kan.
Untuk menjadi seorang dokter, tidak bisa hanya karena profesi ini dipandang bisa menjamin kehidupan. Menurutku, kepercayaan terhadap kebaikan Tuhan dan kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri yang bisa menjamin kehidupan.
Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi seorang dokter, itu sama saja dengan memutuskan untuk berkomitmen dengan profesinya seumur hidup. Iya, seumur hidup. Profesi dokter adalah profesi yang tidak mengenal pensiun. Profesi dokter adalah profesi yang tidak mengenal waktu dan tempat karena profesi ini berhubungan dengan nyawa manusia. Apalagi, sebelum menjalankan profesinya, seorang dokter disumpah atas nama Tuhannya. Kamu bisa search di mesin pencarian dengan keyword 'Sumpah Dokter Indonesia' untuk mengetahui isi sumpahnya.
Belum lagi kalau kita bicara soal dokter-dokter yang bekerja di unit gawat darurat atau dokter-dokter yang memilih spesialisasi yang ada nilai gawat daruratnya seperti dokter spesialis bedah, dokter spesialis anestesi, dokter spesialis obstetri dan ginekologi, atau dokter spesialis anak. Mau sedang santai di rumah, sedang liburan, sedang tidur, lapar, atau galau sekalipun, kalau sudah di-calling, ya, berangkat (atau minimal diinterupsi melalui telepon). Memangnya nyawa bisa menunggu?
Oleh karena itu, orang tuaku mau melihat seberapa mantap kemauanku untuk kuliah di fakultas kedokteran dan seberapa mantap kemauanku untuk menjadi seorang dokter dengan cara menakut-nakuti itu tadi. Ketika orang tuaku bisa melihat kemantapan itu di diriku, orang tuaku akhirnya menjadi mantap juga. Orang tuaku senangnya bukan main. Mereka bilang, "Alhamdulillah. Jadi, misalnya, nanti mama atau papa sakit, ada yang ngobatin ya."
Tapi, kenyataannya, setelah aku jadi dokter, aku hampir ngga pernah benar-benar bisa mengobati kedua orang tuaku ketika mereka sakit. Aku malah lebih sering mengobati orang lain. Aku malah mementingkan orang lain.
Suatu ketika, penyakit vertigo papaku kambuh sampai beliau jatuh dan kepalanya terbentur. Saat itu, aku sedang praktik. Ketika mamaku telepon, rasanya saat itu juga aku mau pulang. Tapi, di saat bersamaan, ada tanggung jawab yang ngga bisa aku tinggal begitu saja. Ada sumpah terucap yang ngga bisa aku langgar begitu saja. Akhirnya, aku hanya bisa menginstruksikan ke mama melalui telepon apa-apa saja yang harus dilakukan untuk menolong papa sambil menahan tangis di kamar dokter. Aku memang secengeng itu kalau sudah menyangkut orang tua.
Pernah juga waktu mamaku mau kontrol ke dokter yang jadwal praktiknya malam hari, lagi-lagi karena aku sedang praktik, aku jadi ngga bisa mengantar dan menemani beliau. Kepikiran bukan main karena kan malam hari. Nanti di jalan bagaimana, kalau ada apa-apa siapa yang nolongin, dan lain sebagainya.
Pernah satu waktu aku minta maaf ke mereka karena aku ngga bisa selalu ada di saat mereka sakit. Mereka bilang begini,
Pernah juga waktu mamaku mau kontrol ke dokter yang jadwal praktiknya malam hari, lagi-lagi karena aku sedang praktik, aku jadi ngga bisa mengantar dan menemani beliau. Kepikiran bukan main karena kan malam hari. Nanti di jalan bagaimana, kalau ada apa-apa siapa yang nolongin, dan lain sebagainya.
Pernah satu waktu aku minta maaf ke mereka karena aku ngga bisa selalu ada di saat mereka sakit. Mereka bilang begini,
"Saat Dini memutuskan untuk jadi dokter, Mama dan Papa sudah menyadari bahwa Dini akan menjadi milik masyarakat. Mama dan Papa sudah siap, Nak. Mama dan Papa justru bangga dan bahagia karena Mama dan Papa punya anak yang bermanfaat untuk banyak orang karena itu doa dan harapan Mama dan Papa."
Iya, menjadi seorang dokter berarti harus punya kesadaran dan kesiapan untuk merelakan sebagian atau bahkan lebih dari sebagian diri kita untuk 'dimiliki' masyarakat. Kesadaran dan kesiapan ini juga harus dipunyai oleh orang-orang di sekitar dokter tersebut. Orang tuanya, suami/istrinya, dan atau anak-anaknya. Kesadaran dan kesiapan ini yang seringkali disepelekan atau bahkan dilupan orang.
Ngga sedikit hal yang harus ditinggalkan dan dikorbankan demi menempatkan pasien sebagai prioritas nomor satu, lebih penting dari apapun bahkan dari diri dokter itu sendiri karena ada harapan dan tuntutan yang sangat besar yang ditujukan kepada seseorang dengan 'label' dokter. Saking besarnya sampai seringkali melewati batas. Contohnya kejadian yang pernah aku alami ini,
Ngga sedikit hal yang harus ditinggalkan dan dikorbankan demi menempatkan pasien sebagai prioritas nomor satu, lebih penting dari apapun bahkan dari diri dokter itu sendiri karena ada harapan dan tuntutan yang sangat besar yang ditujukan kepada seseorang dengan 'label' dokter. Saking besarnya sampai seringkali melewati batas. Contohnya kejadian yang pernah aku alami ini,
Hari itu, aku jaga di bagian Layanan 24 Jam di sebuah Puskesmas di Jakarta. Saat waktu Zuhur tiba, mumpung sedang ngga ada pasien, aku bergegas ke kamar mandi di ruang jaga untuk wudhu. Waktu aku keluar kamar mandi, ada seorang perempuan usia 20-an tahun masuk ke ruangan.
D : "Ada apa ya, Mbak?"
P : "Saya mau berobat. Dokternya ada kan?"
D : "Ada, Mbak. Saya dokternya. Sakit apa, Mbak?"
P : "Batuk pilek, Dok,"
D : "Oh Mbaknya tunggu sebentar ya, saya salat Zuhur dulu,"
P : "Ngga bisa langsung periksa ya, Dok?"
D : "Saya salat Zuhur dulu ya, Mbak. Soalnya, saya sudah wudhu."
Perempuan tersebut langsung pasang wajah cemberut dan berdecak, "Ck!" kemudian dia keluar dengan membanting pintu.
Astaghfirullah...
Aku kan ngga kemana-mana ya, mau salat aja kok. Berapa lama sih waktu yang diperlukan untuk salat? Persoalannya kan aku sudah wudhu. Kalau aku belum wudhu, pasti akan segera aku layani. Apakah dengan menunggu aku salat akan membuat parah batuk pileknya? Lagian, hak aku dong untuk beribadah.
Sering aku ditanya, apa susahnya menjadi seorang dokter?
Aku selalu jawab,
Kalau dari segi keilmuan, ngga ada yang susah selama mau selalu belajar dan berlatih. Tapi, yang susah adalah menjadi pribadi seorang dokter. Seorang dokter diharapkan dan dituntut untuk selalu sempurna. Saking sempurnanya sampai banyak orang kemudian ngga mau tahu ketika dokternya butuh ibadah, butuh istirahat, butuh makan minum, butuh hiburan, butuh berkumpul bersama keluarga...
Bahkan ngga sedikit orang yang kemudian punya pola pikir, 'Kalau berobat ke dokter harus sembuh. Kalau ngga sembuh, tuntut dokternya'. Orang-orang kayak gini suka bikin aku sedih loh. Sedihnya karena kok kayak melupakan Tuhan padahal Tuhan loh yang menentukan kesembuhan hambaNya karena itu memang kuasa Dia. Bukan dokter. Dia yang Maha Menyembuhkan. Dokter hanya bisa membantu pasiennya menuju jalan kesembuhan itu. Selebihnya, ya, tergantung usaha dari yang punya badan dan ketetapan Tuhan.
Tapi, apapun itu, kalau kita menyenangi apa yang kita kerjakan maka apapun yang terjadi pasti akan dihadapi. Menjadi seorang dokter adalah pilihanku sendiri dan aku ngga pernah menyesal dengan pilihan ini 😊
Namanya hidup, rintangan pasti akan selalu membentang dan masalah pasti akan selalu datang. Tergantung kitanya. Pandai-pandai saja untuk memilah dan memilih. Hal-hal mana yang benar-benar perlu dipikir sejauh mungkin dan dirasa sedalam mungkin, mana hal-hal yang cukup tahu saja dan mana hal-hal yang patut dilewatkan.
Manusiawi kalau kemudian datang lelah, sedih, putus asa, marah, atau kecewa asalkan jangan terus menerus. Manusiawi kalau kemudian mengeluh, asalkan jangan selalu.
Hanya dengan mengingat bahwa profesi ini adalah ladang pahala yang sangat luas maka kekuatan itu akan datang dengan sendirinya.
Astaghfirullah...
Aku kan ngga kemana-mana ya, mau salat aja kok. Berapa lama sih waktu yang diperlukan untuk salat? Persoalannya kan aku sudah wudhu. Kalau aku belum wudhu, pasti akan segera aku layani. Apakah dengan menunggu aku salat akan membuat parah batuk pileknya? Lagian, hak aku dong untuk beribadah.
"Even heroes have the right to bleed." - Five For Fighting
Sering aku ditanya, apa susahnya menjadi seorang dokter?
Aku selalu jawab,
Kalau dari segi keilmuan, ngga ada yang susah selama mau selalu belajar dan berlatih. Tapi, yang susah adalah menjadi pribadi seorang dokter. Seorang dokter diharapkan dan dituntut untuk selalu sempurna. Saking sempurnanya sampai banyak orang kemudian ngga mau tahu ketika dokternya butuh ibadah, butuh istirahat, butuh makan minum, butuh hiburan, butuh berkumpul bersama keluarga...
Bahkan ngga sedikit orang yang kemudian punya pola pikir, 'Kalau berobat ke dokter harus sembuh. Kalau ngga sembuh, tuntut dokternya'. Orang-orang kayak gini suka bikin aku sedih loh. Sedihnya karena kok kayak melupakan Tuhan padahal Tuhan loh yang menentukan kesembuhan hambaNya karena itu memang kuasa Dia. Bukan dokter. Dia yang Maha Menyembuhkan. Dokter hanya bisa membantu pasiennya menuju jalan kesembuhan itu. Selebihnya, ya, tergantung usaha dari yang punya badan dan ketetapan Tuhan.
Tapi, apapun itu, kalau kita menyenangi apa yang kita kerjakan maka apapun yang terjadi pasti akan dihadapi. Menjadi seorang dokter adalah pilihanku sendiri dan aku ngga pernah menyesal dengan pilihan ini 😊
* * *
Namanya hidup, rintangan pasti akan selalu membentang dan masalah pasti akan selalu datang. Tergantung kitanya. Pandai-pandai saja untuk memilah dan memilih. Hal-hal mana yang benar-benar perlu dipikir sejauh mungkin dan dirasa sedalam mungkin, mana hal-hal yang cukup tahu saja dan mana hal-hal yang patut dilewatkan.
Manusiawi kalau kemudian datang lelah, sedih, putus asa, marah, atau kecewa asalkan jangan terus menerus. Manusiawi kalau kemudian mengeluh, asalkan jangan selalu.
"Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia." (QS. Al-Ma'idah : 32)
Hanya dengan mengingat bahwa profesi ini adalah ladang pahala yang sangat luas maka kekuatan itu akan datang dengan sendirinya.
Jadi, kalau saat ini aku ditanya, "Kamu mau jadi dokter karena apa?" Sejujurnya, aku ngga punya jawabannya.
Mungkin memang sudah takdirku untuk menjadi seorang dokter dan aku sedang memenuhinya.
Semoga artikel ini bisa membuka pandangan baru dan lebih luas lagi tentang profesi dokter ya 😉
Semoga artikel ini bisa membuka pandangan baru dan lebih luas lagi tentang profesi dokter ya 😉
[Disclosure : Artikel ini diperbarui pada bulan Agustus 2020]
Mbak Dini, Selamat ya sudah menjadi dokter yang kalau saya baca pernyataan-pernyataan diatas Mbak adalah dokter yang baik. Anak saya juga baru dilantik sebagai dokter muda. Dan kami tidak pernah memintanya untuk jadi dokter, Itu benar-benar pilihannya sejak kecil. Kita saling mendoakan ya mbak agar para dokter menemukan idealisme Mengapa mereka memilih profesi tersebut. Sebab dengan cara itulah pasien akan banyak sekali terbantu. Amin
ReplyDeleteSelamat ya Mbak untuk anaknya dan selamat bertugas ;)
DeleteSemoga semua dokter bisa berpikiran dan berkomitmen seperti dr. Dini...
ReplyDeleteSaya miris lihat dan menyaksikan dokter dan kesehatan di Cianjur Selatan. Selain puskesmas, di kami tidak ada RS. Dokter jarang. Makanya warga banyak berobat ke orang pintar...
Daripada ke RSUD di kota dengan kendaraan 4jam lebih,
Kini sudah ada RS pembantu di Kecamatan Pagelaran, 2jam kendaraan dari pelosok terjauh perbatasan Cianjur. Tapi dari segi pelayanan masih kurang. Tetap dokternya jarang ada karena setiap ditanya pasien dokternya ada, kata perawat masih di kota. Hikz!!
Semoga pemerintah juga bisa punya kebijakan yg pro rakyat untuk pengadaan dan pemerataan fasilitas kesehatan yg mumpuni ya Mbak. Kalau dokternya ada tapi fasilitas kesehatannya ngga mumpuni kan susah juga dokternya mau menjalankan tugasnya dengan baik :)
DeleteSalam kenal ya mbak..
ReplyDeleteSelamat sudah jadi dokter ya.
Semoga istiqomah. Salut untukmu mbak :)
Salam kenal juga Mbak ;)
DeleteAq kok mewek ya...salut banget sama profesindokter dan profesi lainnya...
ReplyDeleteSemangat mba dini
Waaa ngga maksud bikin mewek Mbak, heu ^^
DeleteTanggung jawab dokter itu berat sekali ya. Jarang nemu dokter yang mau melayani di luar jam praktek sekarang ini. Tapi ya maklum, dokter juga butuh istirahat juga ya.
ReplyDeleteBanyak kok Mbak dokter yg melayani di luar jam praktik. Itu dokter-dokter yg jaga di Gawat Darurat, dokter-dokter di klinik 24 jam, atau dokter-dokter spesialis yg spesialisasinya ada nilai gawat daruratnya kalau di-calling juga pasti datang, hehe ^^
DeleteAhh ada Dokter Dini Cantik tentunya dambaan pasien.
ReplyDeleteHiks, terharu baca ungkapan Mama Papa nya untuk anak yang memilih profesi sebagai dokter ini.
Menyadari baik itu dokter atau pekerjaan lain sudah ada konsekwensinya ya .
Semangat Dokter Dini,
*aku minta obat sakiit hati niy dok :v
O ia beberapa hari lalu hari dokter nasional ya? Selamat hari dokter mba Dini :) terima kasih sudah berbagi pengalamannya :)
ReplyDeleteAku terharu mbak dini .. apalagi di bagian percakapan dengan orang tua.
ReplyDeleteSungguh menjadi dokter bukan perkara mudah, bukan perkara asal terlihat keren, bukan perkara asal orang tua bangga. Tapi juga perkara harus rela menjadi milik masyarakat.
Dan iya.. memang orang orang beranggapan dokter adalah segalanya, kalau ga sembuh berarti salah dokternya.
Semangat terus mbak dinii...
Semoga menjadi dokter yang amanah dan bermanfaat bagi semuanya ^^
Apa pun kondisinya saya tetap mengagumi seorang dokter, apalagi klw udah pakai jas putihnya atau pakaian operasi macam dr.OZ, ahh keren lahh..
ReplyDeleteselamat berjuang ya mbak dr.Dini :-)
salut mbak Dini...untuk menjadi dokter nggak mesti orang tuanya dokter yang penting niat lurus dan mantap, salam kenal mbak
ReplyDeleteTernyata jadi dokter bahkan jadi bagian dari keluarga dokter memang harus ekstrasabar ya. Kebayang kalo aku beneran punya suami dokter pasti harus ekstrasabar kalo sewaktu-waktu suami dicalling ada pasien.
ReplyDeleteAku termasuk yang cupu karena ngga berani jadi dokter. Karena menurut saya ya kyk yang dini cerita, tanggung jawabnya besar banget. Dan aku salut sama yang berani untuk bertanggung jawab dgn ikhlas, apalagi dilakukan dgn sukacita krn memang profesi ini adalah passionnya. Coba dini praktek di mana biar aku singgahi,hahaha.
ReplyDeleteCalling ajaaa, hahaha :p
DeleteSeorang dokter diharapkan dan dituntut untuk menjadi sempurna. Saking sempurnanya sampai banyak orang kemudian tidak mau tahu ketika dokternya butuh ibadah, butuh istirahat, butuh makan minum, butuh hiburan, butuh berkumpul bersama keluarga <<< Ini jleb banget, Mba Din.
ReplyDeleteIya banget, kadang pasien hilang kesabaran saat antri hanya untuk memberi kesempatan dokternya untuk ibadah maupun makan. Padahal kan dokter itu bukan robot. Semoga Mba Dini dan para dokter diberikan pahala yang berlimpah atas pengabdian dan kesabarannya ya :)
Aku selalu salut deh sama orang2 yang memilih mwnjadi dokter. Karenaaaa... dedikasinya itu lho. Dan jd dokter itu kan hrs berkorban waktu brg keluarga jg ya. Selamat ya Dini atas gelarnya. Semoga berkah..
ReplyDeleteMembantu orang lain melalui jalan medis dengan memberikan pelayanan yang maksimal bagi pasien. Semoga tetap ikhlas dan terus ikhlas dalam menolong pasien Bu dokter.
ReplyDeleteaku sedih pas baca yg bagian ttg orangtua Dini.. iya juga ya kepikiran banget klo misalnya pas orang terdekat kita sakit, malah kita sedang membantu masyarakat.. InsyaAllah ini jalan ibadah kamu Dini, profesi yang sangat mulia.. salut :)
ReplyDeleteMungkin pasiennya belum paham kali ya kalau beribadah itu perlu diutamakan. Kecuali sakitnya dia parah baru deh harus segera ditolong.
ReplyDelete`bEKERJA dengan motivasi ingin mmebantu banyak orang itu pahalanya memang luar biasa dan tantangannya juga ga kalah menguji ya mba :)
ReplyDeletedokter dini salam kenal ya. Tulisannya komprehensif banget ini, berguna banget buat orang-orang yang berniat jadi dokter. Kalo menurutku pribadi, syarat paling utama jadi dokter adalah......punya mental super kuat liat darah dan ngebelek badan orang. Duh kalo aku mah, gak akan pernah jadi dokter...apalagi kalo udah soal ngebelek, baru denger kata-kata operasi aja udah gemeter apalagi misalnya aku jadi dokter dan suruh ngelakonin iris2 tubuh orang. Ampun dijeeee....maaf jadi curcol ya mbak :)
ReplyDeleteHahaha, iya Mbak, itu juga salah satunya. Jangan malah dokternya jadi pasien ya. Nambahin itu namanya, hihihi :p
DeleteSalut sama dini! Pada dasarnya segala keputusan yg diambil ada plus minusnya. Orangtua dini luarbiasa banget dukung dini untuk jd dokter dan terima konsekuensinya dini jd milik masyarakat. Prakteknya dimana din? Aku mau berobat sama dokter dini aahhh
ReplyDeleteCalling aja nanti aku datang, ahaayy :p
DeleteIya bener sekali, jadi istri dari seorang dokter pun kudu rela ditinggal kapanpun ada panggilan darurat hihihi, seminggu bisa cuman sehari dua hari aja ketemunya :D
ReplyDeleteSemoga dokter-dokter selalu diberi kesehatan wal-afiat, aamiin.
Betul Mbak. Ini yg perempuan-perempuan seringkali ngga sadar. Maunya punya suami dokter karena keren lah, bisa diobati sendiri lah tapi lebih dari itu jadi istri dokter harus siap dan ngga bisa egois semisal suaminya harus berbagi waktu atau bahkan lebih milih pasiennya :)
DeleteWah bu dokter di tengah kesibukannya masih sempat nge-blog ya, mba. Seneng baca2 sharing teman2 ttg sisi lain profesinya. Jadi nambah wawasan juga.
ReplyDeleteSupaya seimbang Mbak. Selain itu juga supaya ilmu yg saya punya bisa menjangkau lebih banyak orang. Kan kalau banyak orang merasa terbantu dengan baca blog saya, sayanya juga yg senang karena bisa jadi manfaat :)
DeleteHi Mba Dini salam kenal, semoga sehat dan berkah selalu dalam menjalani profesinya. Aku haru membaca kalimat dari mamah-papahnya mba. Semoga amanah y mba
ReplyDeleteAamiin yaa rabbal alamiin. Salam kenal juga Mbak :)
DeleteAku punya beberapa temen dokter dan ujung2 nya malah dagang, jualan baju sama jualan kantin
ReplyDeleteKita suka bilang, kuliah lama2 mahal eh ujung2 nya cuman gini doang hahahaha. Dia bilang mungkin terlalu lelah kami kuliah
Kami butuh refreshing Kak, hahaha ;p
DeleteSesuai yg ditulis dini, saat ini aq pun mungkin jg keluarga sudah mulai belajar utk memahami seluk beluk kedokteran, mulai dari kesibukannya dll. Krna adek baru masuk kuliah kedokteran atas keinginannya sendiri. Awal2 gemes euy, tiap di wa/sms/telp lamaaaa bgt blsnya pdhl kami kawatir. Dia ngekos sendirian. Tapi makin kesini yaa makin bs ngerti sih... kadang2 malah no news is a good news meski ttp harus rajin komunikasi.
ReplyDeleteBaru kuliah aja sdh sibuk gtu ya, apalgi ntr klo sudah kerja. Hihi.
Saya dulu sejak SD cita-citanya dokter Mba', tapi setelah SMA tidak dilanjutkan karena terbatas biaya. Terus semangat Mba', semoga semakin banyak dokter yang bekerja dengan hati... :)
ReplyDeleteWah, saya baru tahu kalau mbak Dini dokter :) semangat ya mbak, terima kasih sudah berjasa dengan memberikan waktu, tenaga dan bantuannya untuk banyak orang.
ReplyDeleteHihihi, iya, Alhamdulillah :)
DeleteSalam kenaal mbaak dinii. .
ReplyDeleteSaya sangat menikmati setiap kalimat dari cerita ini. Semangaat mbaaak.. Semogaa selalu sehat dan bahagia untuk berbagi kebaikan dengan yg lain. Saluut sama dr.Dini 😁 Salam kenaal. .
Hai, Mbak, salam kenal juga. Aamiin ya rabbal alamiin. Terima kasih sudah mampir dan baca tulisan saya :)
DeleteSalam kenal mba Dini ^^
ReplyDeleteSetuju sekali mba kadang orang lupa kalo bukan dokter yang memberikan kesembuhan tapi Tuhan. dan aku paling heran kalo di dokter ga sembuh pasti nuntut sana-sini, tapi kalo di dukun / alternatif ga sembuh mereka memaklumi saja. (emosi)
Semoga selalu menjadi dokter yang Amanah ya dok seperti kata orang tua dr. Dini :)